~*~ Perhitungan Gaji dan Sedekah ~*~
Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini
Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy
Saya tertarik dengan falsafah hidupnya,
yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini
Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar
Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM
bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri
Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu
Melainkan dari pria ini
Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan
Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan
Namun tidak seperti yang saya duga,
Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan
Jauh dari mapan
Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya
dengan sikap hidup yang dijalaninya
Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru
Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain,
satu sekolah dengan sekolah lainnya
Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing
Hampir tidak ada perbedaan mencolok.
Kami sama-sama “guru” yang “katanya” pahlawan tanpa tanda jasa
Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah
sikap hidupnya yang amat berbudi
Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi
Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya
Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA
Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan
Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana
apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya
“Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka
Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis”
“Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?”
“Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji,
kita akan menjadi orang pelit. Individualis
Bahkan bisa jadi tamak, loba
Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang,
dia tidak akan pernah merasa cukup.
Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang”
“Kenyataannya memang begitu kan Mas?”
kata saya mengiayakan
“Mana mungkin dengan gaji sebesar itu,
kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi”
Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya
“Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis
Cobalah keluar dari medium itu
Oke, sakarang jawab pertanyaan saya
Kita punya uang sepuluh ribu
Makan bakso enam ribu
Es campur tiga ribu
Yang seribu kita berikan pada pengemis,
berapa sisa uang kita?”
“Tidak ada, Habis.”
jawab saya spontan.
“Tapi saya jawab masih ada
Kita masih memiliki sisa seribu rupiah
Dan seribu rupiah itu abadi
Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga”
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya
Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya
Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah?
Dari mana sisanya?
“Mas, bagaimana bisa
Uang yang terakhir seribu rupiah itu,
kan sudah diberikan pada pengemis “
saya tak sabar untuk mendapat jawabannya
“Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis
Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu
dan beralihlah pada logika sedekah
Uang yang seribu itu dinikmati pengemis
Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu
atas pemberian kita
Itu baru satu pengemis
Bagaimana jika kita memberikannya lebih
Itu dicatat malaikat dan didengar Allah
Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat
Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi
Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC”
Subhanallah...
Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya
Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita
yang sering terlupakan
Sedekah memang berat
Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup,
bukan orang kaya
Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah,
hakikatnya sebagai orang miskin
sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi
Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua
Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi,
bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua,
belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya
dan sejagat haru biru perasaanya
Tetapi di saat bersamaan,
semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu,
Allah akan menggantinya berlipat-lipat
“Terus, gimana caranya Mas,
agar bisa menyeimbangkan nilai matematis dengan dimensi sedekah itu?”
“Pertama, ingat,
sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin,
tapi sebaliknya menjadikan ia kaya..
“Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji,
tapi percayalah pada keluasan rizki..
“Ketiga, lihatlah ke bawah,
jangan lihat ke atas..
“Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan syukur..
Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan
Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy
Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi
Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada
Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya
dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan
Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini
Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserakan
dan belum sempat saya kumpulkan
Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur’an
Telah beberapa waktu saya acuhkan
Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya
Spontan saya buka sekenanya
Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy
Allah mengingatkan saya kembali:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus biji
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui"
(Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)
semoga kita senantiasa selalu menyempatkan waktu untuk tetap bersedekah
baik itu berupa harta, pertolongan ataupun hanya sekedar senyuman belaka
Referensi :
Minggu, 27 Juni 2010
http://namakugusti.wordpress.com/2010/07/27/matematika-gaji-dan-logika-sedekah/
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar