Sabtu, 27 April 2013

Ajari Aku Bersabar





Ajari Aku Bersabar





♥♥♥




“Aku tidak mencintainya Ibu”



“Bukan tidak, tapi belum karena engkau belum mengenalnya anakku”



“Tapi dia bukan wanita impianku, pakaiannya tidak Islami dan aku belum tahu pribadinya karena Ibu benar, aku memang belum mengenalnya”



“Ibu mengenalnya, Ibu memintamu menikahlah dengannya, berkenalanlah dengannya, kenakanlah pakaian Islami kepadanya, bentuklah pribadinya menjadi yang terbaik dan Ibu berdoa… Insya Allah, engkau akan bahagia bersamanya”




***




16 tahun berlalu, dialog ini masih kuat kuingat

Waktu itu Ibuku membawa foto seorang gadis
Anak dari teman akrabnya

Ibuku bercerita tentang latar belakang hubungannya dengan teman akrabnya tersebut yang mereka bina sejak kecil, hingga menitahkan aku untuk menikahi putri temannya itu


Jujur, terlepas dari alasan apapun, tidak akan ada lelaki normal yang sanggup menolak kecantikan wajah dari sosok gadis di foto itu

Bentuk tubuh yang tidak berlebihan jika kukatakan sempurna, namun penolakanku sangat manusiawi dan beralasan jika ditinjau dari sudut perasaan

Aku belum mengenal dia
Jika dilihat dari lahiriahku, cara berpakaiannya sangat jauh dari nilai-nilai yang selama ini secara dogmatis kupelajari dipondok pesantren


Aksioma Ibuku, dan kepatuhan utuh dari seorang anak kepada orang tuanya membuat pernikahan itu benar-benar terjadi

Egoisnya perasaanku akhirnya benar-benar membuat aku tersiksa
Hidup bersama wanita yang tidak pernah aku bayangkan kehadirannya
Bahkan konon aku cintai



~o~




Tahun pertama rumah tangga kami adalah tahun paling berat bagiku

Bersabar untuk melaksanakan titah orang tua
Berjuang untuk menumbuhkan rasa cinta
Dan berusaha untuk menyadari fakta bahwa aku seorang kepala rumah tangga

Namun 3 hal ini memang sungguh berat bagiku, dan aku tidak kuasa untuk menyembunyikannya
Setiap saat aku selalu mencari-cari alasan untuk bertengkar dengan istriku

Setiap hari aku selalu mengorek kekurangan istriku
Fatwa terberat yang selalu kuterbitkan baginya adalah soal berjilbab




***



Permasalahan yang kukembangkan pada permukaan akalku mencapai puncaknya, ketika tepat 3 bulan usia pernikahan kami,
istriku hamil, dan ironisnya aku tidak merasa bahagia dengan berita ini

Aku makin kuat mengibarkan bendera perang pada musuh yang sebenarnya tidak pernah berdaya untuk melawanku
Anehnya, satu sikap perlawananpun tidak pernah ditunjukan istriku

Setiap masuk waktu shalat, dengan sigap ia mendahuluiku untuk dijadikan makmum
Setiap aku membaca Al Qur’an, dengan setia ia menemaniku dan bahkan sesekali ikut membacanya, yang terus terang hatiku dibuat sedikit kagum dengan ketepatan makhrajnya


Setiap aku mendirikan tahajud
Dengan ikhlas ia ikut bangun dan shalat bersamaku,
padahal sengaja tidak pernah ku bangunkan

Setiap waktu sahur di bulan Ramadhan,
dg disiplin ia memasak & menyiapkan makanan,
lalu membangunkan aku

Pokok'a alasan untuk bertengkar yg setiap saat aku cari tidak pernah dia ladeni,
naskah fatwa yg telah kukonsep sejak tengah malam selalu ia baca pd pagi hari'a dg secuil senyum manis,
bendera perang yg makin kuat kukibarkan selalu ia turunkan dg lembut

Dan yg paling luar biasa,
sikap seperti ini sebagian besar ditunjukan'a sepanjang usia kehamilan'a

Memasuki tahun kedua aku dibuat'a makin tersudut

Pada suatu pagi
ketika aku akan berangkat kerja,
setelah semua keperluanku disiapkan,
ia bicara,
“Mas, aku ingin berjilbab
Maukah Mas mengajariku untuk istiqomah?”

Dueeeerrrr !!
Seperti'a ada suara ledakan dikepalaku, kaget, tidak percaya, bahagia, dan yang pasti, bingung!

“Bercanda kamu”Kataku berusaha dingin

“Insya Allah aku serius,
jujur selama ini aku malu sama Allah dan sama Mas,
aku seperti tidak pernah berusaha menjadi hambaNya dan mengimbangi Mas sbgi istri,
Namun bagiku itu sebuah proses.
Aku sangat berterima kasih kepada suamiku yang telah memberi kesempatan dengan tidak menekan aku,
selama aku melewati proses panjang ini”

Kontan rona mukaku dibuat'a merah,
“tidak pernah menekan?” katanya, padahal untuk urusan kalimat yang satu ini adalah yang selama ini paling giat aku ucapkan,
hingga perlu bersusah payah membuat naskah fatwa untuknya,
tapi dengan ringannya ia mengatakan aku manusia paling baik dan bijak dimatanya?


Malam itu,
malam yang teramat berarti bagiku,
malam ketika seorang suami menunaikan kewajiban terhadap istri'a

Aku tersenyum sendiri,
kenapa aku baru menemukan perasaan ini ketika sudah mempunyai anak?

Kuangkat wajahku tepat diatas wajah istriku

Kami saling bertatapan dalam
Di lubuk hatiku ada rasa bahagia
Bola mataku begitu jelas mamandang keindahan sinar rembulan tepat berada didepanku dan aku makin takjub dibuatnya

“Subhanallah,
Apakah telah Engkau perkenankan doa Ibuku Ya Allah?”

Jiwaku berkecamuk
Kepalaku penuh memikirkan hal yang tak perlu,
Hatiku gundah, galau dan resah
Kutangkap dari sudut mataku,
istriku menghampirik,
membawakan segelas teh hangat dan sepiring makanan ringan

Senyum manisnya kusambut dengan kalimat pendek,
“Ajari aku sabar Istriku…”



***
Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar