Jumat, 02 Mei 2014
Madrasah Cinta
~*~ Madrasah Cinta ~*~
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup
kecuali benih dalam kandungannya
Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya,
karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya
Seringkali ia bertanya;
menangiskah ia?
Tertawakah ia?
Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana?
Bahkan ketika waktunya tiba,
tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya,
ketika mati pun akan dipertaruhkannya
asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia
Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati,
tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan
selain anak-anak
Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan
bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga,
kecuali anak-anak
Si kecil baru saja berucap “Ma...”
segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar telepon
Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris
antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya
Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang
dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya
Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan
“Demi anak”, “Untuk anak”
menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil
Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga
dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue
Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya,
setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya
Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya
dan berganti mengambil baju untuk anak
Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil
Meski pun, terkadang ia harus berhutang
Lagi-lagi atas satu alasan, DEMI ANAK
Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya
Di kertas kecil itu tertulis:
1. Uang sekolah anak
2. Beli susu anak
nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain
Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya
menjadi hal utama buatnya
Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa,
asalkan susu si kecil tetap terbeli
Takkan dibiarkan si kecil menangis,
apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji
menjadi pembantu yang tak pernah dibayar
menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai
dan menjadi babby sitter yang paling setia
Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju
yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran
Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik,
berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu
Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci
yang melompat-lompat mengelilingi kebun,
mencari wortel untuk makan sehari-hari
Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya
dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya
Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan,
walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau
Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati
sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik
Namun, si kecil belum juga terpejam
dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian
Dalam kantuknya, ia terus pun mendongeng
hingga iamulai beranjak dewasa
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi
sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus
Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya
selain suami dan anak-anak tercinta
Serta merta kalimat, “sudah makan belum?”
tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah
Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu
kini sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya,
untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya,
siapa yang paling menangis?
Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata?
Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap
Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan
ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin
Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu
kini tak lagi hanya miliknya
Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih,
“Masihkah kau anakku?”
Saat senja tiba
Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya
Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir
Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya,
“bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan
Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian”
Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya
“Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil”
ujarnya
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak
Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu?
Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya
Ibu lah madrasah cinta saya
sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran:
cinta
Sekolah yang hanya ada satu guru:
pecinta
Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama:
yang dicinta
***
Referensi :
By Bayu gawtama
Kamis, 02 Maret 2006 @ 04:14
http://budiiiiiiiii.wordpress.com/2006/03/02/madrasah-cinta/
*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar