Jumat, 02 Mei 2014
Menyusun Rangkaian Kehidupan
~*~ Menyusun Rangkaian Kehidupan ~*~
Jam 24 malam saya baru tiba dirumah
Perjalanan dari Jakarta menuju Pandeglang hari itu terasa lebih panjang
Alasan apalagi kalau bukan karena kemacetan akut yang menyerang Jakarta
hampir disemua ruas jalan
Suami saya menunggu di depan teras rumah
Secangkir kopi susu hangat menemaninya menghalau dinginnya udara luar
Dia selalu begitu
Teras itu menjadi ruang favoritnya ketika malam tiba
Kedua anak saya telah tertidur lelap di tempat tidur terpisah
Setelah mandi dan baca koran sebentar,
akhirnya tiba untuk tenggelam dalam lelap dan nyenyak
Entah berapa lama terpejam,
tiba-tiba terasa ada yang menarik tangan saya dengan sangat hati-hati
Kemudian tangan ini dielus dan diciuminya dengan lembut
Saya berusaha memicingkan mata,
oh, rupanya anak pertama saya Annisa (9 tahun) yang melakukannya
Saya tidak langsung bereaksi
Sengaja membiarkan ini berlanjut
Kemudian dia menempelkan tangan lembutnya kepipi saya
Dengan sangat perlahan dia berbisik
“Bu,.. ibu.. bangun bu, pindah yuk, bobonya sama Nisa..”
Kami beranjak perlahan, khawatir membangunkan suami
Kemudian, saya dan Nisa tidur di bawah satu selimut besar
Dingin agak berkurang
Jam di Handphone menunjukkan pukul 02:00 dinihari
Tak sabar Nisa memulai pembicaraan
“Bu, Nisa lagi buat gelang dan kalung dari manik-manik untuk dijual”
“Jualannya ke mana?”
“Tadi sih muter kerumah temen-temen
Sebelumnya dijual disekolah”
“Laku gak?”
“Ada yang laku ada yang nggak
Uangnya sudah dibelikan manik-manik lagi
Besok mau buat lagi..”
“Yang bikin gelang dan kalungnya siapa?
Nisa sendiri?”
“Bukan. Bertiga sama Teh Rifda dan Fajrin
Teh Rifda digaji 1.000, kalau Fajrin 500”
Saya menahan senyum di tengah gelap
Terasa lucu mendengar kalimat terakhirnya
Entah bagaimana cara mereka bersepakat menentukan gaji dalam nilai rupiahnya
Malam itu, spesial dia membangunkan saya untuk membagi cerita serunya
***
Saya tengah ingin melempar waktu ke beberapa tahun yang lalu
Pada suatu kesempatan berbincang dengannya,
Saya mengajukan pertanyaan standar untuknya
“Nisa punya cita-cita apa nak..?
“Nisa pengen jadi seperti ibu
Ibu jadi apa tuh sekarang? Akuntan ya?
Nisa mau seperti itu, kerja dengan komputer..”
serangkaian kalimat tadi lancar meluncur tanpa beban
“Oh, iya. Kalau gitu Nisa harus rajin belajar
supaya cita-citanya tercapai..”
“Iya Bu.. Nanti kalau Nisa sudah kerja,
kita kekantornya bareng ya
Nisa maunya satu kantor sama ibu
Ntar ibu yang ongkosin Nisa ya”
“Iya”
ada tawa yang tertahan
Obrolan masih berlanjut..
“Ntar kita duduknya bareng ya Bu, Satu meja”
Saya tersenyum dalam hati
Dia berfikir dengan caranya sendiri
Kemudian, dia melanjutkan lagi,
“Ntar kita makannya bareng, pulangnya juga bareng”
Saya tak tahan untuk segera menggodanya
“Iya, ntar naik ojeknya juga bareng
Nisa tetap duduk di depan ya?”
Dia berfikir sebentar, kemudian menjawab:
“Wah, kayaknya nggak bisa deh bu,
ntar kan badan nisa sudah gede,
tukang ojeknya nanti terhalang oleh badan Nisa”
“Oh iya ya”
saya manggut-manggut serius, mengiyakan argumennya
Kemudian, di tengah suasanan hati saya yang tak jelas
antara gembira, haru, terenyuh dan lucu tersebut,
saya mengajukan satu pertanyaan lagi untuknya
“Kenapa Nisa ingin bekerja menjadi seperti ibu?”
Dengan kilat binar matanya yang bening
dia menjawab lugas dan tuntas
“Nisa ingin terus bersama ibu
Nisa ingin ke mana-mana bareng sama ibu
Pokoknya Nisa gak mau jauh dari ibu
Kalau Nisa bekerja seperti ibu,
berarti kan Nisa bisa samaan terus dengan ibu..”
Tuhan.., itulah jawaban yang sebenarnya
Jawaban yang membuat jantung ini seolah dihantam godam berton-ton beratnya
Seketika hati saya berkabut
Saya sedih dan terenyuh dengan cita-citanya itu
Tadinya saya menduga bahwa dia memimpikan profesi saya
Bahwa dia mengenal dan ingin menjadi seperti saya
Ada bangga menyelinap ketika pembicaraan itu berlangsung
Saya seolah menjadi model yang sempurna untuknya
Namun, sesungguhnya bukan itu yang menjadi alasan akan cita-citanya
Dia merindukan saya
Dia menginginkan kehadiran ibu dalam setiap saat waktu yang dilewatinya
Dia menginginkan kebersamaan itu
Kemudian, dengan kapasitas berfikir anak usia 6 tahun,
dia berusaha mencari jalan keluar atas keinginan yang belum didapatkannya
Dia tengah menyusun taktik
Dalam gambarannya, jika dia kelak menjalani profesi seperti ibu,
maka dia tidak akan kehilangan kebersamaan dengan sosok yang dirindukannya itu
Saya menangis haru atas cita-citanya itu
Jika mungkin saya boleh memilih,
ingin rasanya menemaninya setiap saat,
ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan setiap perkembangannya,
ingin mendampinginya dalam setiap kesempatan suka dan dukanya,
ingin melewati kebersamaan lebih panjang lagi
Melewati setiap rangkaian peristiwa dengan kedekatan yang sesungguhnyapun saya merindukannya
Untuk saat itu saya membiarkan hati saya berduka
Saya mengakui akan kesedihan itu
Bukan, bukan karena ingin meratapi nasib!
Saya tidak tengah menyesali akan tugas yang tengah dijalani
Tugas yang telah menyita sebagian waktu kehidupan yang dimiliki
Saya hanya tengah ingin berdamai dengan kenyataan
Mencari cara agar hilang segala kesedihan,
untuk kemudian berdamai dengan perasaan sendiri
Walau bagaimanapun saya sangat yakin,
ada potongan puzzle kehidupan yang harus diselesaikan satu persatu
dengan sepenuh ikhlas
Dan mungkin kini, sudah saatnya harus memiliki strategi untuk beranjak kepada potongan berikutnya
Dan sekarang, saya tengah menyusun dan mewujudkan ‘ingin’ itu
Walaupun mungkin tak ideal seperti yang lainnya
Namun saya akan terus berdoa dan berusaha
Saya ingin selamat menyusun sisa rangkaian kehidupan yang saya miliki,
yaitu melewati kebersamaan dengan penuh makna dan cinta dengan anak-anak tercinta itu
Nenda_2001@yahoo
Untuk Annisa dan Aisya:
terima kasih atas segala cintamu nak!
***
Referensi :
Oleh Indah Prihanande
Kamis, 14 Juni 2007
http://santrifirdaus.blogspot.com/2008/11/oase-keislaman.html
*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar